SUDAHKAH USAHA KECIL MENJADI MOTOR EKONOMI INDONESIA?
Seperti yang kita bahas sebelumnya UKM-lah yang dapat
bertahan di era kriris moneter than 1998. Namun ternyata hal itupun belum cukup
membuktikan UKM untuk menjadi motor penggerak perekonomian.
Secara
umum Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2008 lalu mengidentifiasi beberapa
kendala yang dihadapai UKM, yakni:
1.
Kurang permodalan
2.
Kesulitan dalam pemasaran
3.
Persaingan usaha ketat
4.
Kesulitan bahan baku
5.
Kurang teknis produksi dan keahlian
6.
Keterampilan manajerial kurang
7.
Kurang pengetahuan manajemen keuangan
8.
Iklim usaha yang kurang kondusif.
Hambatan Usaha
Kecil sebagai Motor Pertumbuhan
Sebagaimana
diketahui sesuai hasil pengolahan data tahun 1993 dari sektor usaha kecil
sekitar 97% terdiri dari usaha kecil-kecil (mikro) dengan omset dibawah Rp. 50
juta,-. Dengan demikian mayoritas usaha kecil adalah usaha mikro dan sebagian
terbesar berada di sektor pertanian dan perdagangan, hotel dan restoran.
Masalah
mendasar yang membatasi ekspansi usaha kecil adalah realitas bahwa
produktivitasnya rendah sebagaimana diperlihatkan oleh nilai tambah/tenaga
kerja. Secara keseluruhan perbandingan nilai tambah/tenaga kerja untuk usaha
kecil hanya sekitar seper duaratus (1/200) kali nilai tambah/tenaga kerja untuk
usaha besar. Jika dilihat periode sebelum krisis dan keadaan pada saat ini
ketika mulai ada upaya ke arah pemulihan ekonomi. Pada tahun 2001, mengecil
menjadi 0,55. Hal ini menunjukkan bahwa potensi untuk menutup gap antara
produktivitas UK dan UB malah menjadi semakin tipis, atau jurang perbedaan
produktivitas (nilai tambah/tenaga kerja) akan tetap besar.
Sudah
menjadi pengertian umum bahwa produktivitas sektor industri, terutama industri
pengolahan seharusnya mempunyai nilai tambah yang lebih besar. Sebenarnya
sektor pertanian memiliki produktivitas terendah dalam pembentukan nilai tambah
terutama di kelompok usaha kecil yang hanya merupakan sekitar tiga perempat
produktivitas usaha kecil secara keseluruhan yang didominasi oleh usaha
pertanian. Namun pengalaman Indonesia dimasa krisis menunjukan, bahwa yang
terjadi sebaliknya dengan demikian dalam suasana krisis masih sangat sulit
mengharapkan sektor industri kecil kita untuk diharapkan menjadi motor
pertumbuhan untuk pemulihan ekonomi.
Pertanyaan
kritis yang harus dijawab adalah apakah sub-sektor industri kecil mampu di
gerakan dalam jangka pendek, karena terbukti selama tiga tahun melewati krisis
kecenderungannya sama yakni sekedar bertahan dari keterpurukan lebih parah.
Untuk melihat potensi relatif sektor industri sebagai instrumen transformasi
sektor tradisional (pertanian) ke modern (industri pengolahan) atau proses ke
lanjutan untuk nilai tambah, maka dapat dilihat kemajuan relatif produktivitas
kedua sektor untuk usaha kecil. Rasio nilai tambah/tenaga kerja pada tahun 1997
sebesar 0,55 berubah menjadi 0,56 pada tahun 2001 ini berarti tidak terjadi
kemajuan yang berarti dalam perbaikan produktivitas, atau krisis justru
menyebabkan “back push” atau dorongan ke belakang ke sektor tradisional. Secara
empiris kesimpulan ini juga didukung oleh banyaknya profesional dari sektor
modern yang terkena dampak krisis kembali melakukan alih usaha ke sektor
agribisnis, karena pasarnya jelas dan peluangnya masih cukup besar.
Hambatan
untuk meningkatkan produktivitas usaha kecil mikro tidak terlepas dari
kemampuan mengadopsi teknologi termasuk untuk alih usaha, alih kegiatan, alih
komoditas. Karena selama ini meskipun mereka telah mengalami transformasi dari
sektor pertanian ke non pertanian namun tetap dalam papan bawah. Apabila
keadaan ini tidak dapat didobrak maka yang terjadi adalah apapun program yang
dicurahkan bagi pengembangan usaha mikro tidak berhasil meningkatkan nilai
tambah. Atau jika berhasil nilai tambah tersebut diserap oleh sektor lain yang
menyediakan input atau jasa pendukung bagi usaha mikro. Gambaran ini
mengindikasikan bahwa industri kecil tidak dapat memikul harapan yang terlampau
besar untuk menjadi motor pertumbuhan.
Prasyarat Bagi
Memajukan UKM
Posisi
UKM, terutama usaha kecil di dominasi oleh dua sektor yakni sektor pertanian
dan perdagangan hotel dan restoran, sehingga fokus lebih besar juga harus
ditujukan kepada kedua kelompok ini. Pada sektor perdagangan, hotel dan
restoran persoalannya sangat rumit karena sektor ini sangat mudah dimasuki oleh
UK baru meskipun dengan keterampilan rendah. Sehingga barrier perbaikan
produktivitas sangat tinggi karena adanya kompetisi yang tajam terutama
di sub – sektor perdagangan eceran.
Jika
dilihat struktur usaha kecil, maka dapat dipisah kan menjadi dua kelompok besar
yaitu usaha mikro dan usaha kecil. Berdasarkan perkiraan BPS (2001) terdapat
lebih dari 40 juta unit usaha dan hanya 57,473 usaha menengah serta 2095 usaha
besar. Jika perubahan besar dalam distribusi antara usaha mikro dan usaha kecil
dalam kelompok usaha yang memiliki omset dibawah Rp. 1 miliar tidak banyak
berubah, maka sebenarnya jumlah usaha kecil yang memiliki omset diatas Rp. 50
juta/tahun hanya dibawah 1 juta sementara 39 juta lainnya adalah usaha mikro
yang omset nya hanya berada dibawah Rp. 50 juta/tahun dan populasi terbesar
berada di sektor pertanian (rumah tangga) dan perdagangan umum, terutama
perdagangan eceran. Untuk membangun UKM di Indonesia agar dapat menjadi mesin
pertumbuhan diperlukan reformasi kebijakan yang mendasar.
Reformasi
kebijakan pembinaan yang diperlukan termasuk pemisahan atau pengembangan usaha
kecil (usaha mikro) untuk tujuan penanggulan kemiskinan dan usaha pengembangan
UKM untuk tujuan peningkatan pertumbuhan ekonomi dan ekspor. Penanganan ini
akan sangat penting untuk menghindari kesimpang siuran konsep dan strategi
pembinaan yang dapat membingungkan bagi khalayak sasaran dan para pelaksana di
daerah. Masalah ini secara khusus memang memerlukan peninjauan yang mendalam,
karena adanya “dismatching” antara undang-undang, pengorganisasian pembinaan
oleh pemerintah dan tuntutan pasar. Masalah UKM tidak dapat dikerjakan oleh
satu instansi saja, tetapi juga bukan merupakan kerja semua instansi.
Secara
legal setiap usaha yang ada di berbagai sektor ekonomi menurut pengertian UU
No.9/1995 dapat dikategorikan sebagai usaha kecil sepanjang omset nya berada di
bawah Rp. 1 miliar, memiliki aset kurang dari Rp. 200 juta di luar tanah dan
bangunan dan bukan merupakan anak perusahaan dari usaha besar. Cakupan yang
luas dan melebar memang menyebabkan fokus pengembangan sering tidak efektif,
karena karakter dan orientasi bisnis yang dijalankan oleh para pemilik usaha,
jika digunakan basis penyediaan pembiayaan sebagai pengolah pakar maka usaha
kecil dalam pengertian UU No. 9/1995 dapat dibedakan menjadi tiga kelompok:
1. Kelompok usaha mikro dengan omset dibawah
Rp. 50 juta yang diperkirakan merupakan 97 % dari seluruh populasi usaha kecil.
2. Kelompok usaha kecil dengan omset antara Rp. 50
juta – Rp. 500 juta yang jumlahnya relatif kecil hanya sekitar 2 % dari seluruh
populasi usaha kecil.
3. Kelompok usaha kecil menengah mungkin dapat
kita sebut usaha mikro yang memiliki omset antara Rp. 500 juta – Rp. 1 miliar
dan relatif sangat kecil jumlahnya yaitu kurang dari 1 % atau tepatnya sekitar
0,5 % saja.
Dalam
kelompok usaha mikro sendiri sebenarnya masih terdapat perbedaan yang mencolok
dalam setiap lapisan skala bisnis. Namun demikian kelompok usaha mikro ini
dapat kita golongkan ke dalam program penyediaan lapangan kerja untuk
penanggulangan kemiskinan. Arah dari program ini adalah menahan agar tidak
terjadi kemerosotan taraf hidup ke arah jurang yang lebih dalam, sehingga tidak
menimbulkan korban bagi perekonomian secara keseluruhan sehingga dapat
digolongkan dalam kelompok jaring pengaman sosial.
Bagi
usaha mikro yang merupakan kegiatan ekonomi riel, namun masih menghadapi
kendala struktural akibat kungkungan tradisi dan pengaruh kebijakan pembangunan
di masa lalu.
Strategi
dasar pembinaan usaha kecil untuk pertumbuhan, haruslah berani menetapkan
sasaran individual untuk mengangkat usaha mikro potensial menjadi usaha kecil.
Penciptaan usaha kecil baru ini mempunyai posisi kunci sebagai pendobrak
kebekuan kungkungan produktivitas rendah. Memperbanyak jumlah usaha mikro untuk
keluar dari kelompoknya akan membuat gerakan “Big Impact” dari bawah dari usaha
kecil sendiri.
Untuk
penciptaan basis UKM yang kokoh pendekatan pengembangan Klaster Bisnis/Industri
perlu ditumbuh kembangkan. Kehadiran klaster yang senergik dari kegiatan hulu
ke hilir, atau antara kegiatan inti (pokok) dengan kegiatan pendukung,
penyediaan bahan baku dan outlet pemasaran akan mempercepat dinamika usaha di
dalam klaster tersebut, termasuk interaksi dengan usaha besar yang ada di
kawasan tersebut atau terkait. Pendekatan klastering ini pada dasarnya untuk
mengefektifkan pola pengembangan dengan menjadikannya sebagai titik pertumbuhan
bagi bisnis UKM.
Dari
sisi dukungan yang diperlukan maka prasyarat utama adalah bahwa dalam semangat
otonomi setiap pemerintah daerah harus memberikan dukungan administratif dan
lingkungan kondusif bagi berkembangnya bisnis UKM. Ini menjadi mutlak karena
dengan otonomi daerah maka kewenangan pengaturan pemerintahan dan pembangunan
secara lokal berada di daerah. Kebijakan makro dan moneter secara nasional hanya
bersifat memberikan arah dan sinyal alokasi sumberdaya dan kesepakatan
internasional terhadap dunia bisnis di daerah.
Dukungan
lain yang penting adalah dukungan non finansial dalam pengembangan bisnis UKM.
Sejumlah praktek terbaik dalam persuasi UKM melalui inkubator, kawasan berikat,
konsultasi bisnis maupun hubungan bisnis antar pengusaha dalam klaster harus
dijadikan pelajaran untuk mencari kesesuaian dengan jenis kegiatan atau
industri dan kultur masyarakat pengusaha, termasuk didalamya pengalaman
kegagalan lingkungan industri yang mencoba memindahkan lokasi untuk penciptaan
klaster. Klaster yang inovatif akan tumbuh dengan perkembangan kultur yang
mendukung. Dukungan pengembangan bisnis semacam ini harus ditumbuhkan menjadi
suatu bisnis yang berorientasi komersial.
Dan
akhirnya dukungan finansial yang meluas harus didasarkan pada prinsip
intermediasi yang efesien. Berbagai lembaga pembiayaan yang sesuai harus
ditumbuhkan dan menjangkau klaster-klaster yang telah berkembang, sehingga
pilar bagi tumbuhnya bisnis UKM yang didukung oleh kesatuan sistem produksi dan
keberadaan bisnis jasa pengembangan bisnis serta keuangan menjadi benar-benar
hadir di kawasan klaster di maksud. Lembaga pembiayaan dimaksud dapat berupa
bank, lembaga keuangan bukan bank dan lembaga-lembaga keuangan masyarakat
sendiri (lokal).
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar